Qothrotul Falah Teaches Me Everything
Operator | Minggu, 24 Mar 2015 18:15:10 WIB dibaca 572 x komentar 0 ArtikelGambar : Ilustrasi
MUNGKIN saat ini aku baru menyadari betapa beruntungnya aku dapat merasakan kehidupan nan beragam di pondok pesantren. Jujur, ketika keluarga sudah menetapkanku untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren, rasanya aku ingin lari saja. Bagaimana tidak? Aku merasa dianaktirikan oleh keluarga. Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, keluarga sudah menitipkanku kepada saudara dengan alasan pergaulan yang semakin mengkhawatirkan di perkotaan.
Saat menginjak sekolah menengah atas, ternyata keluarga juga udah ketok palu untuk menyekolahkanku di pesantren dengan alasan yang sama. Pupus sudah harapan untuk sekolah dengan menikmati fasilitas rumah sendiri. Apa ini namanya, kalo bukan anak tiri? Pikirku saat itu. Rasanya ngebatin pun udah jadi makanan setiap hari. Berbeda dengan adik-adikku yang lain, hanya aku yang selama sekolah dititip-titipkan. Membuat diri ini semakin berontak dalam diam. Lantas apalagi yang bisa aku lakukan? Membantah dengan seribu pendapat pun rasanya percuma, terlebih nenekku yang paling semangat agar aku melanjutkan sekolah dengan background pondok pesantren.
Nenekku pernah mengatakan; “Mau jadi apa kamu Cha? Anak pertama harus jadi contoh yang baik untuk adik-adik! Liat anak perempuan sekarang di luaran sana! Banyak dari mereka yang udah ngecewain keluarga. Nenek cuma nggak mau itu terjadi sama kamu!”
Nenek nggak pernah nyerah untuk cucu perempuannya yang kece ini agar masuk pesantren. Ketika aku punya seribu pendapat, beliau punya sejuta alasan untuk menolak usulanku yang pada saat itu terus membujuk agar keluarga bisa menerima alasanku untuk tidak sekolah di pesantren. Baiklah, the last aku mengalah.
Awal masuk pesantren, rasanya mengjengkelkan. Semua kegiatan harus diatur waktu. Ketika mau mandi, mau nyuci, mau nyetrika baju antrinya nggak ketulungan. Ketika makan dengan lauk-pauk yang ala kadarnya. Ketika sandal ada yang ghasab. Ketika perlengkapan mandi terkadang ilang entah ke mana, dan sebagainya. Semua itu menguji kesabaran dan keikhlasan. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang seakan sengaja diciptakan seperti ini. Serasa mimpi dan rasanya ingin segera bangun. Sampai pada akhirnya aku sadar bahwa ini adalah the reality of life. Dan aku nikmatin juga hidup yang telah digariskan seperti ini. Untuk memotivasi diri sendiri, selalu kukatakan; “Cha, life must go on!’
Tidak ada yang sulit jika semua yang kita lakukan, dikerjakan dengan ikhlas. Begini rasanya jadi santri. Banyak warna, menjadikan hidup penuh makna. Awalnya nggak yakin bisa bertahan lama. Kayaknya hal ini juga yang sebagian temen-temen pikirin tentangku. “Nggak nyangka ya, dikira si Chaca bakal pindah liburan kemarin. Eh ternyata masih bertahan sampe saiki,” itu celetukan salah satu temen sekamarku pas awal-awal tinggal di pesantren. Aku cuma senyum saja nanggepin segelintingan omongan semacam ini. Nggak tau deh, ini ledekan atau ungkapan rasa kagum.
Yang pasti willy nilly aku nikmatin juga hidup di pondok pesantren. Apalagi kalau bukan demi orang tua, seenggaknya aku mikir 99 kali buat pindah. Selalu aja kebayang raut wajah nenek yang sering ngasih petuah, menghargai setiap keringat Papa yang nggak kenal capek nyari nafkah untuk keluarga termasuk sekolah Chaca, mama yang jadi pendengar setia Chaca tentang keluh kesah di pondok sekaligus selalu motivasi dan support Chaca untuk terus bertahan.
Bukan berarti hidup di pondok itu lurus-lurus aja. Banyak rintangan juga ternyata. Tapi justru ini semua yang membuat aku mikir sekaligus sadar, bahwa ini semua sebagai langkah pendewasaan diri. Dan aku meyakini bersama kesulitan ada kemudahan. Benar adanya dengan apa yang dikatakan oleh salah satu Ustadz di Pondok Pesantren Qothrotul Falah yaitu, Ustadz Ahmad Turmudzi. Beliau pernah mengatakan: “Pondok pesantren adalah miniatur kehidupan di masyarakat”. Aku percaya, ujian di pondok adalah untuk melatih kita ketika nanti terjun di masyarakat. Kehidupan di pondok pesantren dengan pasukan yang beragam tidak berbeda jauh dengan kehidupan masyarakat.
Bahkan lebih beruntung lagi ketika hidup merasa tertata, tidak pernah tertinggal shalat lima waktu beserta rawatibnya. al-Hamdulillah ketika mampu menjalankan sunnah-sunnah-Nya. Membayangkan apakah aku bisa melakukan ini semua ketika berada di rumah tanpa ada aturan yang memaksaku untuk menjalankan segala perintah-Nya? Rasanya tidak akan terjadi. Ah, aku merasa beruntung, karena paling tidak telah dibekali ilmu, akhlak yang baik sebelum pada akhirnya dilepas ke masyarakat. Semoga dapat diamalkan. Amiinn!
Thanks God, thanks Qothrotul Falah, thanks grand Ma, thanks Mom, thanks Dad for everything. Juga untuk semua pilihan hidup yang sempat aku jalani setengah hati. Tapi tenang, karena saat ini dengan kecintaan pada Pondok Pesantren Qothrotul Falah ini aku jadi sepenuh hati menjalankan segala aktivitas pondok, bahkan rasanya enggan sekali meninggalkan rutinitas ini semua ketika tinggal menghitung bulan saja masa kontrak tinggal di sini telah habis.
Rasanya tiga tahun adalah waktu yang singkat untuk manusia-manusia yang haus akan ilmu. Banyak kenangan, banyak cerita bersama kawan, bagaimana tidak? Teman seperjuangan seolah telah menjadi bagian dari keluarga sendiri. Ketika semua aktivitas dari bangun tidur hingga tidur lagi selalu dilakukan bersama-sama. Aku jadi teringat sepenggal puisi, atau katakanlah sepenggal catatan yang pernah aku posting di akun facebook. Izinkan aku untuk kembali menuliskannya di sini agar pembaca satu nafas selalu ingat bagaimana perjuangan kita selama ini.