Satu Goresan Seribu Inspirasi
Operator | Minggu, 04 Apr 2015 18:23:21 WIB dibaca 589 x komentar 0 ArtikelGambar : Ilustrasi
SALAH satu alasanku mengambil judul cerita ini, karena aku termotivasi oleh ungkapan Albert Enstein. Beliau berkata: “Ilmu pengetahuan itu terbatas, akan tetapi inspirasi tidak ada batasnya”.
Masih keinget banget dalam otak sebelah kiri, nasihat-nasihat KH. Ahmad Syatibi Hambali atau yang sering disapa Abi (Pimpinan Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten). Beliau pernah, bahkan sering menyatakan; “Lakukanlah apa yang bisa kalian lakukan di pondok ini, selama itu bermanfaat dan memberikan kemanfaatan bagi orang banyak”.
Aku sering berfikir; “Apa yang sudah bisa aku lakukan di pondok selama enam tahun ini?” Sejak sekolah di Pondok Pesantren Qothrotul Falah dari sejak MTs hingga kini aku sudah SMA, aku merasa belum bisa memberikan kemanfaatan untuk banyak orang. Kata-kata Abi itu mendoktrinku untuk sebuah kesemangatan dalam berfikir, bahwa selama ini aku belum bisa apa-apa. Akupun terus berusaha menjadi orang yang bermanfaat.
Sejujurnya, pertama kali masuk pesantren ini, aku belum pernah terpikir sedikitpun apa yang bisa aku tekuni sebagai bakatku. Dan setelah lulus dari sini akan jadi apakah diriku ini? Itu mungkin sekilas pertanyaan untuk diri sendri. Akupun terus mencari jawabannya.
Pernah aku menulis di dalam pintu lemari, ketika pertama kali masuk pesantren ini. Di situ ada tanggal kapan aku pertama masuk dan ada mahfudhat (kata-kata mutiara) yang aku tulis untuk sekedar penyemangat di saat lelah atau pengen pulang. “Sabtu, 11 Juli 2009. Man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dapatlah ia)”.
Aku rasa kata-kata itu nggak akan aku hapus selama masih ada di pondok. Karena jujur, walaupun aku laki-laki, tapi ketika berpisah dengan keluarga, itu untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa sedih. Bukan berarti aku cengeng, tapi itu semua tanda aku sayang dengan keluarga. Dan aku harap dengan adanya tulisan itu, aku malu ketika ingin kabur, karena aku yang menulis motivasi itu, tapi aku sendiri yang mencampakkannya.
Kalau ditanya masalah keinginan, mungkin ini bukan keinginanku untuk masuk pondok, karena aku ingin melanjutkan sekolah di luar. Tapi apalah daya, orang tua adalah segalanya bagiku. Yang terpenting, aku bisa lanjut sekolah dan kedua orang tuaku bangga dan mampu membiayainya. Dan sekarang aku paham kenapa bapakku dulu mengusulkanku untuk bersekolah di pondok pesantren. Ternyata beliau nggak mau anaknya yang ganteng ini terbawa arus pergaulan yang semakin bebas.
Awalnya memang nggak betah tinggal di pondok yang serba on time dan diatur. Tapi itu tadi, aku ingat kata-kata yang ditulis di lemariku dan juga jerih payah bapakku. Dan al-hamdulillah sampai saat ini, sampai mau lulus SMA, aku bisa bertahan di pondok. Bahkan aku mulai menikmati kenyamanan kehidupan di sini, karena peraturan yang ada sangat berpengaruh besar terhadap sikapku. Yang tadinya lambat dalam hal shalat lima waktu apalagi shalat malam, tapi di sini aku malah terbiasa dengan itu. Dan itu aku pakai ketika pulang ke rumah.
Lambat laun akupun mulai tertarik dengan beberapa ekstrakurikuler di pondok, yang sesuai minat dan juga bakatku. Aku ikut bergabung dengan tim marawis (sebagai vokal tadinya), kaligrafi, qira’at dan PMR. Keempat ekskul itu ada dua yang sangat aku gemari dan aku tekuni, yaitu marawis dan kaligrafi, karena aku tertarik dengan ukiran-ukiran indah yang bernuansa Islami, sekaligus melatih tangan ini supaya bertulisan indah. Kalau di marawis sendiri, kenapa menarik minatku, karena marawis ini cukup menghiburku selama di pondok, refhresh lah. Soalnya aku di pondok termasuk orang yang biasa-biasa aja. Nggak terlalu tertarik sama yang namanya main sana main sini. Jadi, marawis dan ukiran-ukiran tak disengaja pada kaligrafi sebagai hiburannya.
Kawan-kawan bilang, aku termasuk yang terkreatif (bukan karena sombong ya). Kata-kata itu juga terbukti dalam OPPQ Award, aku mendapatkan nominasi terkreatif. Syukur banget kalo diakui. Soalnya di dalam ekskul kaligrafi, karya-karyaku sudah ada beberapa yang menjadi hiasan di kelas, juga di kamar-kamar santri. Dan dari situ juga aku dipercaya untuk mengikuti lomba kaligrafi dari mulai tingkat pondok sampai kabupaten (Juara 1 tingkat KKM Pasir Bungur sebanyak dua kali, Juara III MTQ tingkat KKM Pasir Bungur, Juara III tingkat Kecamatan Cikulur, dan Juara I tingkat Kabupaten Lebak). Al-hamdulillah, aku sudah pernah mengikutinya. Tapi sayang, pas mau tingkat provinsi, aku cuma jadi Juara II.
Perlombaan itu sebuah kebanggaan bagiku. Karena itu, sekarang aku merasa bangga berada di tengah-tengah keluarga besar Pondok Pesantren Qothrotul Falah. Dari juara-juara itu aku dipercaya untuk menjadi ketua ekskul kaligrafi. Sering kali pas acara wisuda atau festival lainnya, aku dan rekan-rekanku yang dibimbing oleh Ust. Muhammad Subhan dan Kak Deden, mengadakan pameran kaligrafi hasil karya kami sendiri.
Beberapa contoh lukisan karyaku dan dengan sahabatku Bebeng (kawan di Kelas XII IPS) yang dipakai untuk kegiatan di pondok yaitu lukisan Imam Bonjol, melukis panorama pantai, dan juga aku pernah melukis tokoh toleransi yaitu KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur untuk acara kepramukaan. Kenapa aku lebih memilih Gus Dur untuk lukisanku? Karena aku rasa, Gus Dur adalah tokoh atau pemimpin yang hebat dan berjiwa luhur.
Kegiatanku yang satu ini telah menjadi teman di saat aku sedang sendiri, sedang sedih. Kegiatan menggores tinta berwarna inilah sebagai penghiburku. Meskipun terkadang ketika sedang melukis aku harus rela bajuku kotor terkena cet lukisanku. Kadang sampai keluar keringat. Kadang sampai kedinginan di tengah malam.
Menjadi kebanggan tersendiri. Kini aku bisa berkarya karena di pondok inilah aku ditempa. Aku bisa berprestasi dari pondok pula. Terima kasih pondokku tercinta. Aku bangga pernah menjadi bagian dari keluargamu. Inti dari ceritaku ini; “Jangan pernah mencari kehidupan di pondok ini kawan, tapi pondok inilah yang harus kita hidupkan.” Wa Allahu a’lam.
Cikulur, 14 Januari 2015
Moral of the Story:
Sahabat, pengalaman akan membuat kita semakin dewasa. Tekunilah kegiatan apapun yang kita cintai, sehingga ia menjadi pengalaman penting buat kita.
(Dikutip dari buku “Rumah Kita: Catatan Santri Qothrotul Falah, 2015)